Dia dalam kami

Rabu, 11 April 2018

"Kamu bawa al-matsuratnya dua atau satu? Aku pinjam dong kalau bawa dua." itu adalah kalimat  percakapan pertama dari saya untuk dia. Kalimat itulah yang menjadi pembuka untuk percakapan kami selanjutnya.
Saat itu kami duduk bersebelahan di bus yang sedang dalam perjalanan ke bandung untuk acara family gathering sekolah, tempat dimana kami bertemu dan menjadi "sepasang sepatu" kalau kata bang Tulus.

Adalah Hani.
Salah satu dari sekian banyak alasan saya menulis disini.
Bila orangtua bisa diibaratkan seperti oksigen, yang tanpanya hidup bisa terasa begitu sesak. Pasangan menjadi seperti air, yang tanpanya hari-hari akan menjadi kering. Maka bagi saya, sahabat adalah cahaya mentari yang tanpanya hari menjadi gelap. Seperti cahaya matahari, Allah mendekatkan kami agar lebih cerah dalam menjalani hari-hari kami di sekolah.

Saya selalu percaya, Allah memiliki alasan untuk mempertemukan semua mahkluk di dunia ini. Begitupun pertemuan saya dan hani.
Saya juga percaya, kita akan bersahabat dengan orang yang sesuai dengan "keadaan" diri kita. 
Contohnya Ikan akan bersahabat dengan ikan, tidak mungkin ikan bersahabat dengan burung. Begitu juga Singa akan bersahabat dengan singa, tak ada singa yang bersahabat  dengan ayam. Mengapa contohnya harus hewan? Karena itu adalah hal yang paling sederhana untuk diibaratkan.

Beberapa orang menduga duga alasan kita menjadi dekat. Beberapa orang mengira kami seperti dua kutub magnet yang bertolak belakang. Beberapa lagi tak habis pikir mengapa kami bisa selalu bersama di sekolah.  Tapi biarlah, mereka tak perlu terlalu dalam untuk tahu apa yang membuat kami saling terkoneksi.

Sering ada hari dimana saya bertanya, “Emang kita mau kemana ya?” Ketika dari jauh jauh hari kami merencanakan untuk ke suatu tempat bersama, tapi dia tetap sabar mengingatkan.
Sebulan sekali selalu ada hari dimana dia menjadi sangat berapi api karena PMS, tapi sambil tertawa kecil saya tetap “SIAP GERAK, DIAM DITEMPAT” agar marahnya tersalurkan.
Kami selalu memiliki seribu sebelas wacana dan belum ada satupun yang terealisasi, tapi kami tetap menambah wacana sambil tertawa mengejek satu sama lain.
Sering juga saya melupakan sesuatu dan dia bantu mengingatnya.
Atau ketika dia mulai menatap sinis saat saya tidak mempercayai ucapannya meski faktanya ucapannya adalah benar. 
Juga ketika kami membutuhkan pendapat satu sama lain, kami selalu terkoneksi. 


Itu adalah sedikit cerita dari sekian banyak hal yang membuat kami seperti “Sepasang sepatu selalu bersama tak bisa bersatu”